Rabu, 23 Maret 2016

Hamzah, Film Pesantren, dan Cita-citanya


Hamzah Sahal, Darmanto Jatman, dan Sutanto Mendut di Studio Mendut, Magelang, 5 Maret 2016.



PESANTREN dalam kehidupan manusia adalah objek paling seksi setelah negara. Jika negara Indonesia digambarkan sebagai perempuan semok semlohai yang paling sempurna pun, maka pesantren adalah pakaian yang harus disandangkan di atas tubuhnya.

Serupawan sejati gagah cantik sebuah Indonesia, masih butuh pakaian untuk berdandan menggapai martabat di mata dunia. Model pakaian yang seperti apa yang layak disandangkan untuk pesantren?
Sebutlah ia adalah jas, kebaya, sempak, kutang, bando, jepit rambut, semir pirang, bedak orange, gincu, sandal jepit, sepatu, kaos kaki, blus, jarik, sarung, dll. Model pakaian yang sudah diperagakan di Paris atau Lereng Merapi?

Indonesia dan pesantren terus berbenah. Mencari bentuk paling seksi sebagai upaya meningkatkan eksistensi atas kehadirannya di muka bumi. Bukan semata gedung megah dan ribuan santrinya, melainkan istiqamah mempersiapkan generasi terbaiknya menghadapi gelombang kehidupan yang makin ganas dan sengak.

"Dunia tidak pernah menutup mata terhadap gagasan baru. Dunia mencatat film `Sang Kiai` adalah salah satu potret pesantren. Meski itu baru sebagian kecil," kata Hamzah Sahal di Studio Mendut, Magelang (5 Maret 2016).

Berkunjung ke Magelang menjadi bahan pembelajaran Hamzah untuk mempertarungkan gagasan tentang film pesantren yang disutradarainya. Di depan pengasuh pondok pesantren asrama perguruan Islam (API) Tegalrejo, KH Muhammad Yusuf Chudlory, Hamzah presentasikan calon film mungil `Jalan Dakwah Pesantren `. Tak melewatkan sejarah ini, Gus Yusuf merangkul budayawan Sutanto Mendut supaya menelisik kedalaman film itu sebelum dilempar ke publik.

"Pesantren itu akarnya desa, dusun, kampung, gunung. Pergulatan orang-orang pelosok itu melekat dengan pesantren," pesan Sutanto.

Jaman terus bergerak mendedahkan berjuta warna liar sehingga pesantren telah jauh berubah dari deskripsi Zamakhsari Dhofier dalam `Tradisi Pesantren`, 30 tahun silam. Perubahan harus diikuti selaras mengarungi semangat jaman yang makin hari makin indah dan menarik plus menggairahkan.

Mungkin sebagian akademisi cenderung melihat pesantren dan masyarakat di sekitarnya sebagai hubungan yang menegangkan. Beberapa kasus kecil memang begitu menegangkan. Akan tetapi, sesungguhnya, di balik ketegangan itu kehadiran pesantren sebagai wujud tanggung jawab ilahiyah generasi Muslim harus memberikan kontribusi yang `mencairkan ketegangan`.

"Sejarah membuktikan. Jaman ayah saya sugeng justru memilih `gamelan` daripada `masjid`. Pilihan itu diambil demi terjaga harmoni warga masyarakat," tutur Gus Yusuf. Kisah tentang gamelan dan masjid di Tegalrejo, Magelang, menjadi salah satu angle film `Jalan Dakwah Pesantren`.

Cita-cita pesantren agar mampu mewarnai Indonesia bukan semata memilih pakaian terbaik yang sudah dipamerkan di Paris. Film sebagai media meningkatkan kemolekan pesantren masih menunggu jutaan ide dan kreativitas yang dedikatif.

Beruntunglah Hamzah tidak sendirian. Sutanto, Gus Yusuf, Lurah Riyadi, Pak Pangat, Jono, Ndoko Handoko, Hari Atmoko, Sholahuddin, dan ribuan kreator dusun sudah terlebih dahulu berkarya untuk mempercantik Indonesia. Tinggal geser sedikit satu inci saja.

Teks dan foto: KHOLILUL ROHMAN AHMAD

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo daftar Jadi Jutawan